Oleh: Aas Rukasa (www.TheNewCiviliSation.com)
“Barang siapa yang zikirnya kepadaKu menyebabkan ia lupa memohon kepadaKu, Aku akan memberinya sesuatu yang lebih besar daripada apa-apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon kepadaKu.”
Apakah Arti Berzikir?
Berzikir itu tidak hanya bertasbih, bertahmid, dan bertahlil kepada Allah. Berzikir itu mengingat. Ada beberapa tahap mengingat, mulai dari menyebut (tahap doktrin), memanggil (tahap kebutuhan), menghadirkan (tahap mesra), hingga fana (being one with, tahap menyatu). Pada tahap fana, Maha Dekatnya Allah tak lagi terbantahkan. Hubungan dengan Allah sudah terkondisikan pada tingkat sistem neural yang permanen. Jadi bertasbih, bertahmid, dan bertahlil itu baru merupakan zikir tahap pemula (yaitu tahap doktrin sampai tahap kebutuhan).
Mengingat itu artinya me-recall sesuatu yang tadinya diketahui dan dikenali tapi terlupa. Kapan kenalnya? Yaitu ketika manusia menerima delegasi untuk menjadi khalifah di muka bumi. “Alastu birobbikum”, bukankah Aku ini Tuhanmu? “Balaa, syahidna”, benar, kami menjadi saksi, demikian jawab manusia (Al A’raf 172).
Rabb artinya Fasilitator, Dia tak hanya memiliki, tapi juga mendidik (menuju kematangan) dan memelihara. Robbil ‘alamin menghendaki seluruh alam, termasuk manusia, tumbuh sebaik-baiknya sebagaimana tujuan penciptaannya. Pertanyaan “Alastu birobikum. Bukankah Aku Fasilitatormu?” mengundang kita untuk mengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan untuk apa kita dihadirkan di bumi ini. Zikir merupakan alat untuk me-recall semua itu, juga mengingatkan kita akan peran kita sebagai wakilNya dalam memelihara alam.
Zikir juga memiliki arti berkontemplasi.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (orang-orang yang tercerahkan), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran:190-192)
Berzikir juga dilakukan oleh alam, tujuannya adalah untuk memenuhi keteraturan. Sebagai bagian dari alam, manusia pun berzikir, tapi di tingkat seluler dan kuantum. Manusia belum tentu berzikir di tingkat kognitifnya. Mengapa?
Karena -bisa jadi- manusia lupa.
Mengapa Manusia Lupa?
Kehidupan berasal dari Singularitas, ruang hampa kuantum yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Ketika manusia diturunkan (baca: dilahirkan) ke bumi, ia memasuki medan yang berlapis-lapis akibat pengaruh gravitasi yang menciptakan ruang waktu. Lapisan-lapisan medan tersebut menjadi hijab bagi manusia. Hijab-hijab ini yang membuat manusia terlupa akan asal-usul dan kesaksian “Balaa, syahidna” yang pernah dialaminya. Jadi, seluruh perjalanan spiritual manusia dapat dikatakan sebagai upaya menapak tilas asal-usulnya.
Singularitas ini tak mengandung gerakan, tak ada ruang waktu, tak ada dimensi timur atau barat. Namun Singularitas ini besar pengaruhnya terhadap medan-medan yang ada di bawahnya. Ketika kehidupan memasuki medan kosmik atau medan higgs, mulai ada ruang waktu, walau lajunya tidak mengikuti konsistensi linear. Dimensi ruang waktu ini perlahan-lahan semakin mengental pada medan bioenergi, dan menjadi sangat dominan pada medan polar atau dunia fisik. Kita dapat melihat adanya hijab antara medan polar dan Singularitas yang menjadi penghalang bagi penglihatan kita.
|
Singularitas (bahan baku alam semesta)
|
Medan Kosmik (terkait dengan kesadaran kosmik)
|
Medan Bioenergi (dari etheric sampai spirit body)
|
Medan Polaritas
(dari elektromagnetik sampai etheric body)
|
Area
|
Sumber
|
Makna
|
Citra
|
Bentuk
|
Hubungan dengan Ruang- Waktu
|
Tidak mengenal ruang waktu. Masa lalu, masa kini, masa depan merupakan sesuatu yang absolut .
|
Sedikit sampai tidak dipengaruhi ruang waktu. Konsistensi laju waktu hilang.
|
Perubahan ruang waktu semakin tidak kronologis, sifat-sifat lokal makin ke atas makin berkurang, sehingga gerak ruang waktu makin longgar
|
Perubahan ruang waktu terasa sebagai suatu yang bersifat kronologis.
|
Batas-batas Dimensi
|
Tidak mengenal batas, bentuk, dan struktur
|
Batas-batas individual dan antar objek (sifat lokalitas) luluh secara bertahap sampai lebur
|
Ada interkoneksi secara selektif antar objek sesuai citra secara kualitatif
|
Batas-batas antar objek dan individu jelas
|
Kandungan Informasi
|
Merupakan sumber informasi dan pemahaman absolut.
|
Medan bersifat holografis, dimana satu bagian memuat keseluruhan informasi, melampaui batas individu atau objek2 lokal
|
Setiap lapisan medan memuat Informasi yang saling interkoneksi dengan medan lain, sehingga bisa saling merepresentasikan
|
Informasi terbatas, frekuensi tertentu memuat informasi tertentu
|
Sistematika
|
Non sistematis, non simbolik.
|
Interpretasi terbuka. Simbolis dan filosofis.
|
Sistematika non linear, kualitatif.
|
Sistematikanya linear dan terukur.
|
Ketika manusia berzikir, sesungguhnya ia sedang menyatukan antara tubuhnya –yang berzikir di tingkat elementer- dengan pikirannya. Penyatuan antara tubuh dan pikiran tersebut akan menguatkan intensitas kesadaran manusia dalam mengakses kesadaran kosmik. Kesadaran kosmik inilah yang akan mengantarkan ingatan kita pada perjanjian dengan Allah di alam ruh.
Zikir Mengubah Takdir
Kita berasal dari the “Unseen world” sebagaimana dikisahkan di atas. Al Quran memulai wacana iman (belief) dengan anjuran untuk beriman terhadap yang ghaib (the Unseen World). Memperkuat iman hanya bisa dilakukan melalui zikir. Zikir yang paling efektif adalah zikir yang dilakukan di tingkat Singularitas (fana), karena zikir setingkat ini memiliki kekuatan penuh untuk mereplikasi sifat-sifat Tuhan (asma’ul husna) terhadap diri lokal kita. Zikir pada tingkat ini menghasilkan self-empowerment yang berdampak multidimensional. Pada kehidupan sehari-hari, kita akan merasakan manfaat self-empowerment tersebut sebagaimana kutipan berikut:
“Your belief act like filters on camera, changing how you see the world. And your biology adapts to those beliefs. When we truly recognize that our beliefs are that powerful, we hold the key to freedom. While we cannot readily change the codes of our genetic blueprints, we can change our minds.” (Bruce H. Lipton, the Biology of Belief, 2005, p.143)
Zikir dan Identitas Diri
Katakanlah : “Kepunyaan siapakah apa yg ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. (Al An’am:12)
“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah (zikir yang mencapai steady state / Singularitas), sedang dia orang yg berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada urwah (buhul tali) yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan” (Luqman:22)
Urwah berakar kata yang sama dengan riwayat. Ayat Luqman:22 mengisyaratkan bahwa identitas atau riwayat kita akan semakin kuat jika kita menjadi orang yang ‘God oriented’ (karena menyerahkan wajah kepada Allah), dan berada di dalam Allah. Tak ada sesuatu selain Allah. Segala sesuatu mewujud atas izin Allah.
Zikir Memfasilitasi Kepemimpinan
Manusia adalah khalifatullah. Kehadiran Allah di dunia dan dalam diri manusia itu harus diketahui dan dikenali. “Kuntu Kanzan Makhfiyya... Aku adalah Khasanah Tersembunyi, dan aku ingin dikenali.” Karena itu:
1. Sebagai wakil Allah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak.
2. Manusia harus mengadopsi kualitas-kualitas ilahi dan mengaktualisasikannya.
3. Manusia wajib menjaga keseimbangan. Karena hanya manusia yang memiliki kualitas sentralitas, totalitas, dan kekhalifahan, sehingga citra Allah bisa direfleksikan secara penuh. Pada Allah, segenap sifat Allah itu merupakan kesatuan yang tak terbedakan. Pada kosmos, sifat-sifat Allah hadir dalam kemajemukan yang terpisah-pisah. Hanya pada manusia kualitas Allah tersebut hadir dalam dua cara, sehingga manusia menjadi realitas perantara yang penting. (Manusia pulalah yang berpotensi merusak keseimbangan antara Allah dan kosmos)
Segenap kualitas-kualitas ilahiah yang penting dalam mengemban tugas kepemimpinan tersebut hanya bisa diadopsi dan diseimbangkan melalui zikir.
Zikir Itu Mencerdaskan
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan insan dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (insan) dengan perantaraan kalam”. (Al Alaq)
Ayat ini mengajak manusia untuk berpikir secara terintegrasi, dan itu hanya bisa dilakukan dengan menyebut nama Allah. Membaca itu mengkomposisi ulang realita lalu memaknainya (Quraish Shihab), berkontemplasi dan mengiterasi (Yusuf Ali). Manusia diciptakan dari segumpal darah yang rendah, tapi Rabb menyebut manusia dalam istilah ‘insan’, mahluk pembelajar, bukan basyar (mahluk biologis) atau nas (mahluk yang mengikuti dorongan psikologis). Iqra’ dalam konteks ini adalah ajakan berkontemplasi.
“Allah itu cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ada di dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang yang berkilau seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur ataupun barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (An Nur: 35)
(Kaca itu tak bercahaya, tapi mampu menjadi medium dan memancarkan cahaya Allah bagaikan bintang. Pelita melambangkan Allah, kaca melukiskan manusia yang berada dalam kapasitas penuh, dan minyak zaitun menyimbolkan hati manusia yang beriman.)
Cahaya di atas cahaya. Realitas itu multidimensi, semakin tinggi (atau dalam) sebuah dimensi, semakin banyak kandungan informasinya. Pada puncaknya, realitas tertinggi (atau terdalam) adalah realitas yang padat informasi, realitas yang memuat segala sesuatu. Di sinilah kecerdasan kosmik relevan, karena kecerdasan kosmik berhubungan dengan realitas multidimensi.
Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki. Artinya, Allahlah yang mengantarkan kita pada kapasitas kita yang tertinggi, Allahlah yang membukakan pintu pengetahuan yang tak terbatas. “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa ketika ia memanggilKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan beriman kepadaKu, agar mereka berada di dalam kebenaran/pengetahuan/kecendekiaan (rusydi)” (Al Baqarah:186)
Alam bersifat holografis, demikian pula otak manusia. Otak holografis memiliki kapasitas yang luar biasa. Jika hologram bisa menyimpan informasi sebesar 10 milyar bit dalam satu sentimeter kubik, secara rata-rata, otak manusia berkapasitas seluas alam semesta, karena sepanjang hidupnya, otak manusia bisa menyimpan informasi sebanyak ± 2,8x1020 bit.
Ayat An Nur:35 di atas juga menyiratkan sebuah cara kerja holografis baik pada alam maupun pada otak manusia.
Model Kesadaran Holografik Keith Floyd:
Dalam pendekatan neurofisiologi, otak kini diyakini sebagai sistem optik yang memproses bio-pancaran cahaya (bioluminescence). Otak merupakan “layar kesadaran”, bagaikan lempeng holografik organik yang memproses rekonstruksi berbagai persepsi dan gambar tiga dimensi. Paduan antara kelenjar bawah otak, thalamus, hypothalamus, dan organ kecil pada tulang belakang merupakan teater kesadaran. Organ kecil pada tulang belakang tersebut tersusun oleh jaringan yang peka terhadap rangsang cahaya. Organ kecil tersebut menempati titik tengah di pusat medan energi neural, lokasi terjadinya pendaran cahaya yang dianggap sebagai layar kesadaran.
Tetapi agar otak kita bekerja secara holografis, kita harus mengakses Singularitas (tauhid, tahap fana), mencapai kecerdasan kosmik. Pertanyaannya, bagaimana cara mencapai Singularitas?
“Ber-muraqabahlah kamu dengan Tuhanmu yang Maha Perkasa dan Maha Tinggi, ketika kamu sendiri maupun berada di tengah keramaian. Dan jadikan pandangan matamu seakan-akan melihatNya. Apabila kamu tidak melihatNya, Dia-lah yang melihatmu.” (K.H.A. Shohibulwafa Tadjul ‘Arifin, Miftahus Shuduur, 1970)
Zikir dan Kinerja
Zikir di tingkat Singularitas akan meningkatkan kualitas perilaku, di antaranya: produktivitas, efektivitas, dan efisiensi. Perilaku-perilaku tersebut merupakan prinsip-prinsip utama dalam konteks manajemen. Zikir menginspirasi orang untuk menghargai waktu dan melakukan apapun sebaik-baiknya, sehingga ia akan selalu menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
“Dan kami tinggikan zikirmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Al Insyirah)
“Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dilakukannya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Hasyr:18)
Takwa artinya beware dalam konteks implementasi, dengan memperhatikan konsistensi dan quality assurance, sehingga layak untuk diaudit oleh Allah.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al Qashash:77)
“Lebih baik dari hari kemarin adalah untung , sama dengan hari kemarin adalah merugi, dan lebih buruk dari hari kemarin adalah celaka ...”
Hubungan antara Kualitas Mindset dengan Kinerja:
|
Mindset Biasa:
“Aku kuat”
|
Mindset Plus:
“Allah Maha Kuat dan tanpa jarak denganku”
|
Level Gagasan
|
Berada pada tingkat pengelolaan mindset atau auto hypnosis, karena ‘aku’ bersifat lokal yang mengandung keterbatasan.
|
“Allah Maha Kuat, juga Maha Dekat”. Pernyataan ini berada pada level belief, mindset, hingga biologis, sehingga memiliki kemampuan me-recode DNA.
|
Level Infrastruktur
|
Ada rentang lokalitas, sehingga ketika tingkat kesulitannya berlebihan, mindset tersebut menjadi gugur. (Misalnya, keberanian dalam menjalani perang di Timtim, belum menjamin adanya keberanian yang sama dalam menjalani perang Iraq).
|
Pengaruhnya bersifat permanen dan konsisten. (Memiliki keberanian yang konsisten dalam menghadapi persoalan seberat apapun)
|
Level Implementasi
|
Memunculkan rasa ‘pride’ yang bisa melalaikan dan menjatuhkan.
|
Terdapat warning system dari control system yang manajemennya tersentralisasikan di God Spot, meliputi: sistem biologis (neural, seluler, dan elektromagnetik), sistem mindset, dan sistem belief.
|
Berbuat berdasarkan nilai-nilai yang tidak universal.
|
Berbuat yang terbaik dalam segala hal, berakhlak dengan akhlakNya: dengan nama Allah, kekuatan Allah dan untuk Allah. Segala sesuatu akan bernilai ibadah (mempunyai nilai universal).
|